Biografi Imam Muslim (204-261 H)
Nama lengkapnya adalah Al-Imam Abu Husain Muslim Bin Al-Hajjaj Al-Qusyairi An-Naisaburi. Beliau dinisbatkan dengan kota Naisabur dimana beliau dilahirkan disana, sebuah kota kecil di sebelah timur laut Negara Iran (sekarang). Terdapat perbedaan pendapat berkenaan dengan tahun kelahiran beliau, namun menurut pendapat yang kuat, Imam Muslim dilahirkan pada tahun 204 H/802 M. Ia juga belajar hadis sejak kecil seperti Imam Bukhari dan pernah mendengar dari guru-guru Al-Bukhari dan ulama lain selain mereka. Orang yang menerima hadis dari Imam Musli, termasuk ulama-ulama pada masanya. Ia juga telah menyusun beberapa karangan yang bermutu dan bermanfaat. Yang paling bermanfaat adalah kitab sahihnya yang dikenal dengan Sahih Muslim. Kitab ini, disusun lebih sistematis dari Shahih Bukhari dan Shahih Muslim. Bisa disebut dengan As-Shohihaini, yang berarti dua orang tua, maksudnya dua ulama tokoh pakar hadis. Imam Ghozali dalam kitab Ihya Ulumuddin terdapat istilah akhraja hu yang berarti mereka berdua meriwayatkannya. Ia belajar hadis sejak usia dini, yaitu saat berusia 16 tahun, yaitu mulai tahun 218 H. ia pergi ke Hijaz, Irak, Syam, Mesir, dan Negara-negara lainnya.
Di Khurasan ia berguru kepada Yahya bin Yahya dan Ishak bin Rahawaih, di Ray ia berguru kepada Muhammad bin Mahran dan Abu Ansan; di Irak, ia belajar hadis kepada Imam Ahmaddan Abdullah bin Maslamah; di Mesir, ia berguru kepada Amr bin Sawad, Harmalah bin Yahya, dan kepada ulama ahli hadis yang lain. Ia berkali-kali mengunjungi Baghdad untuk belajar kepada ulama-ulama ahli hadis, dan kunjungannya yang terakhir pada 259 H. Ketika Imam Bukhari datang ke Naisabur, ia sering datang kepadanya untuk berguru, sebab ia mengetahui jasa dan ilmunya dan ketika terjadi fitnah antara Bukhari dan Az-Zihli, ia bergabung dengan Bukhari sehingga hal ini menjadi terputusnya hubungan dengan Az-Zihli. Muslim dalam Shahih-nya maupun dalam kitab lainnya, tidak memasukkan hadis-hadis yang diterima dari Az-Zihli padahal Az-Zihli adalah gurunya. Hal serupa ia lakukan terhadap Bukhari. Ia tidak meriwayatkan hadis dalam Shahih-nya, yang diterimanya dari Bukhari, padahal Bukharipun gurunya. Tampaknya menurut Muslim, yang lebih baik adalah tidak memasukkan hadis-hadis yang diterima dari kedua gurunya itu ke dalam Shahih-nya, namun tetap mengakui mereka sebagai guru.
Imam Muslim meninggalkan karya tulis yang tidak sedikit jumlajnya, diantaranya Al-FamiAsh-Shahih atau lebih dikenal sebagai Sahih Muslim, Al-Musnad Al-Kabir, (kitab yang menerangkan nama-nama para rawi hadis), kitab Al-Asma wal-Kuna, Kitab Al-Ilal, Kitab Al-Aqran, Kitab Suindera Ahmad bin Hanbal, Kitab Al-Intifa bi Uhubis-Siba, Kitab Al-Muhadaramin, Kitab Man Laisa Lahu Illa Rawin Wahid, Kitab Auladih-Shahabah, Kitab Auham Al-Muhadditsin. Di antara karya-karya tersebut, yang termasyhur adalah Ash-Shahih, yang judul lengkapnya adalah Al-Musnad Ash-Shahih Al-Mukhtasar min As-Sunan bi Naql Al-Adlan Rasul Allah. Menurut perhitungan M.Fuad Abd Al-Baqi, kitab ini berisi 3.033 hadis. Dari perjalanan panjang hidupnya, rihlah ilmiyah, perjuangannya dalam mencari hadis, memberikan kontribusi besar bagi ummat Islam lewat sekian banyak karya, akhirnya pada usia 57 tahun Imam Muslim (rahimahullahu taala) menutup usia, tepatnya pada hari minggu 4 rajab tahun 261 H/859 M, beliau dikebumikan dalam hari senin tanggal 5 rajab tahun 261 H di kota kelahirannya, Naisabur.
Metode Penulisan Kitab Shohih Bukhori Muslim
Metode dan sistematika penulisannya kitab Bukhori sebagai berikut:
Mengulangi Hadis jika diperlukan dan memasukkan ayat-ayat Al-Quran.
Memasukkan fatwa sahabat dan tabiin sebagai penjelas terhadap Hadis yang ia kemukakan.
Mentaliqkan (menghilangkan sanad) pada Hadits yang diulang karena pada tempat lain sudah ada sanadnya yang bersambung.
Menerapkan prinsip-prinsip al-jarḥ wa at-ta’dīl.
Mempergunakan berbagai sigat tahammul.
Disusun berdasar tertib fiqih.
Metode dan sistematika penulisan kitab Muslim antara lain sebagai berikut:
Hanya meriwayatkan Hadis dari para periwayat yang adil, kuat dalam hal hafalan dan dapat dipertanggungjawabkan kejujurannya, serta amanah.
Hanya meriwayatkan hadis-hadis yang lengkap sanadnya.
Menyebutkan rawi-rawi dari beberapa hadis yang mempunyai tema yang sama dengan tanpa memotong satu jalur periwayatan dengan redaksi hadisnya, hanya dipisahkan dengan huruf khâ (ح) yang dicetak tebal sebagai tanda batas satu riwayat disambung dengan jalur riwayat yang lain.
Digunakannya ‘cetak tebal’ pada beberapa hadis, misalnya lafad haddatsana (حدثنا), Akhbarâna (اخبرنا) dan haddatsani (حدثنى) hal ini menandakan adanya ‘perbedaan situasi’ yang perawi alami ketika menerima ha
dis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar